Tata Cara Puasa Ramadhan Yang Baik dan Benar Menurut Ajaran Islam

 A. Pengertian Bulan Ramadhan menurut Imam Syafi'i

Imam Syafi'i (767-820 M) adalah salah satu tokoh penting dalam mazhab Syafi'i, yang merupakan salah satu dari empat mazhab dalam fikih Islam. Imam Syafi'i mengemukakan bahwa Bulan Ramadhan adalah bulan kesembilan dalam kalender Islam, yang di dalamnya umat Islam diwajibkan untuk berpuasa selama sebulan penuh, dari terbit fajar hingga terbenam matahari.

Tata Cara Puasa Ramadhan Yang Baik dan Benar Menurut Ajaran Islam
Tata Cara Puasa Ramadhan Yang Baik dan Benar Menurut Ajaran Islam

Menurut Imam Syafi'i, Bulan Ramadhan memiliki makna yang sangat penting dalam kehidupan umat Islam. Selama bulan ini, umat Islam diharapkan untuk meningkatkan ibadah dan mendekatkan diri kepada Allah SWT. Selain itu, Bulan Ramadhan juga dianggap sebagai bulan yang penuh berkah, di mana pahala dari ibadah yang dilakukan akan dilipatgandakan.

Imam Syafi'i juga menekankan pentingnya persiapan fisik dan mental sebelum memasuki Bulan Ramadhan, seperti meningkatkan kualitas ibadah, memperbanyak membaca Al-Quran, serta menyelesaikan hutang piutang dan memperbaiki hubungan dengan sesama. Selain itu, Imam Syafi'i juga menegaskan bahwa Bulan Ramadhan adalah waktu yang tepat untuk bersedekah dan membantu sesama yang membutuhkan.

B. Tata Cara Puasa Ramadhan Yang Baik dan Benar

Imam Syafi'i adalah seorang ulama besar dalam mazhab Syafi'i yang sangat dihormati di dunia Islam. Beliau memberikan panduan mengenai tata cara puasa Ramadhan yang baik dan benar yang dapat menjadi pedoman bagi umat Islam. Berikut adalah beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam puasa Ramadhan menurut Imam Syafi'i:

1. Niat

Puasa Ramadhan harus dimulai dengan niat yang benar dan tulus di dalam hati. Niat ini harus diucapkan secara lisan pada malam sebelum hari puasa dimulai atau setelah sholat tarawih. Jika anda tidak bisa menghafal menggunakan bahasa arab, niat bisa dilakukan dengan bahasa Indonesia, Kerena Islam itu mudah. Niat ini dapat diucapkan dengan kalimat seperti 
"Saya berniat puasa Ramadhan untuk hari ini karena Allah SWT."
Lafal niat ada bayak fersi,  Kami himpun ada sekitar 6 (enam) lafal niat yang bisa dibaca.

a. Kitab Minhajut Thalibin

Menurut kutipan dari Kitab Minhajut Thalibin dan Perukunan Melayu. Kata “Ramadhana” adalah mudhaf ilaihi jadi dibaca khafadh dengan tanda baca akhirnya berupa fathah, sedangkan kata “sanati” diakhiri dengan tanda baca kasrah sebagai tanda khafadh /tanda jarr dengan alasan lil mujawarah. Niatnya seperti ini

 نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى 

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā 

Terjemahan, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.”

b. Kitab Asnal Mathali

Menurut Kitab Asnal Mathalib. Kata “Ramadhana” pada niat di atas menjadi mudhaf ilaihi jadi dibaca khafadh dengan tanda fathah, sedangkan kata “sanata” diakhiri dengan fathah sebagai tanda nashab atas kezharafannya.

 نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةَ لِلهِ تَعَالَى 

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāna hādzihis sanata lillāhi ta‘ālā 

Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.”

c. Kitab Hasyiyatul Jamal dan Kitab Irsyadul Anam

Kutipan dari Kitab Hasyiyatul Jamal dan Kitab Irsyadul Anam yang menjelaskan bahwa Kata “Ramadhani” dianggap sebagai mudhaf ilaihi yang juga menjadi mudhaf jadi diakhiri dengan kasrah yang menjadi tanda khafadh atau tanda jarr-nya. Lalu kata “sanati” diakhiri dengan kasrah sebagai tanda khafadh atau tanda jarr atas musyar ilaih kata "hādzihi" yang menjadi mudhaf ilaihi dari "Ramadhani".  

 نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانِ هذِهِ السَّنَةِ لِلهِ تَعَالَى 

Nawaitu shauma ghadin ‘an adā’i fardhi syahri Ramadhāni hādzihis sanati lillāhi ta‘ālā 

Artinya, “Aku berniat puasa esok hari demi menunaikan kewajiban bulan Ramadhan tahun ini karena Allah ta’ala.”
Berikut ini lafal niat yang diambil dari  Kitab I’anatut Thalibin.

 نَوَيْتُ صَوْمَ رَمَضَانَ

Nawaitu shauma Ramadhāna

Artinya, “Aku berniat puasa bulan Ramadhan.”

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ مِنْ/عَنْ رَمَضَانَ 

Nawaitu shauma ghadin min/'an Ramadhāna

Artinya, “Aku berniat puasa esok hari pada bulan Ramadhan.” 

d. Kitab Asnal Mathalib.

Di kutip dari Kitab Asnal Mathalib. niatnya seperti ini

 نَوَيْتُ صَوْمَ الْغَدِ مِنْ هَذِهِ السَّنَةِ عَنْ فَرْضِ رَمَضَانَ 

Nawaitu shaumal ghadi min hādzihis sanati ‘an fardhi Ramadhāna 

Artinya, “Aku berniat puasa esok hari pada tahun ini perihal kewajiban Ramadhan.” 

2. Menjaga waktu

Puasa Ramadhan harus dijaga dengan menjaga waktu dari waktu subuh hingga waktu maghrib. Selama waktu ini, umat Islam harus menahan diri dari makan, minum, dan segala jenis perilaku yang dapat membatalkan puasa seperti diperintahkan dalam Ayat yang meneragkan Puasa Ramadhan Surat Al-Baqarah Ayat 187

أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ ٱلصِّيَامِ ٱلرَّفَثُ إِلَىٰ نِسَآئِكُمْ ۚ هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ ۗ عَلِمَ ٱللَّهُ أَنَّكُمْ كُنتُمْ تَخْتَانُونَ أَنفُسَكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ وَعَفَا عَنكُمْ ۖ فَٱلْـَٰٔنَ بَٰشِرُوهُنَّ وَٱبْتَغُوا۟ مَا كَتَبَ ٱللَّهُ لَكُمْ ۚ وَكُلُوا۟ وَٱشْرَبُوا۟ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلْخَيْطُ ٱلْأَبْيَضُ مِنَ ٱلْخَيْطِ ٱلْأَسْوَدِ مِنَ ٱلْفَجْرِ ۖ ثُمَّ أَتِمُّوا۟ ٱلصِّيَامَ إِلَى ٱلَّيْلِ ۚ وَلَا تُبَٰشِرُوهُنَّ وَأَنتُمْ عَٰكِفُونَ فِى ٱلْمَسَٰجِدِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ ٱللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا ۗ كَذَٰلِكَ يُبَيِّنُ ٱللَّهُ ءَايَٰتِهِۦ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ

Bacaan Arab : Uḥilla lakum lailataṣ-ṣiyāmir-rafaṡu ilā nisā`ikum, hunna libāsul lakum wa antum libāsul lahunn, 'alimallāhu annakum kuntum takhtānụna anfusakum fa tāba 'alaikum wa 'afā 'angkum, fal-āna bāsyirụhunna wabtagụ mā kataballāhu lakum, wa kulụ wasyrabụ ḥattā yatabayyana lakumul-khaiṭul-abyaḍu minal-khaiṭil-aswadi minal-fajr, ṡumma atimmuṣ-ṣiyāma ilal-laīl, wa lā tubāsyirụhunna wa antum 'ākifụna fil-masājid, tilka ḥudụdullāhi fa lā taqrabụhā, każālika yubayyinullāhu āyātihī lin-nāsi la'allahum yattaqụn

Artinya: Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi maaf kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

3. Makan Sahur

Apa itu makan sahur, pengertian makan sahur

Makan sahur adalah kegiatan makan pada waktu dini hari sebelum waktu subuh dan sebelum memulai puasa pada bulan Ramadhan. Makan sahur disarankan oleh agama Islam karena dapat memberikan energi yang dibutuhkan oleh tubuh selama menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Makan sahur juga dapat membantu menjaga kesehatan tubuh dan menghindari rasa lapar yang berlebihan selama berpuasa.

Pada umumnya, makan sahur diisi dengan makanan yang mengandung banyak serat, protein, dan karbohidrat kompleks, seperti nasi, roti, telur, sayuran, buah-buahan, atau daging. Makanan sahur yang diambil harus memenuhi gizi yang dibutuhkan oleh tubuh, sehingga umat Islam dapat menjalankan ibadah puasa dengan optimal tanpa mengalami kekurangan gizi dan energi.

Makan sahur juga menjadi salah satu cara untuk menunjukkan rasa syukur dan penghormatan kepada Allah SWT karena diberikan kesempatan untuk beribadah pada bulan Ramadhan. Oleh karena itu, makan sahur diharapkan dapat dijadikan kebiasaan dalam menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Hal itu karena Rasululllah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangat menganjurkannya dan mengabarkan bahwa pada sahur itu terdapat berkah bagi seorang muslim di dunia dan di akhirat sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik riwayat AlBukhary dan Muslim : 

تَسَحَّرُوا فَإِنَّ فِى السَّحُورِ بَرَكَةً
“Makan sahurlah kalian karena dalam makan sahur terdapat keberkahan.” (HR. Bukhari no. 1923 dan Muslim no. 1095).

Keberkahan yang dimaksud  adalah turunnya dan tetapnya kebaikan dari Allah pada sesuatu. Berkah yang dapat mendatangkan kebaikan dan pahala serta  manfaat dunia dan akhirat. Dan Berkah sendiri datangnya dari Allah SWT.

Memenuhi Nabi Muhammad  shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hadits di atas. Keutamaan mentaati beliau disebutkan dalam ayat:

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ
“Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.” (QS. An Nisaa’: 80).

Allah Ta’ala juga berfirman,

وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
“Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar.” (QS. Al Ahzab: 71).

Jadi ibadah sahuradalah syi’ar Islam yang membedakan dengana ajaran Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani). Dari ‘Amr bin Al ‘Ash, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السَّحَرِ
“Perbedaan antara puasa kita dan puasa Ahli Kitab (Yahudi dan Nashrani) adalah makan sahur.” (HR. Muslim no. 1096).
Hal Ini menerangkan bahwa Islam mengajarkan baro’ dari orang kafir, artinya tidak loyal pada mereka. Karena puasa kita saja dibedakan dengan orang kafir.

Dengan menunaikan sahur,Kondisifisik lebih kuat dalam melakukan puasa ramadhan. Beda halnya dengan orang yang tidak makan sahur. Imam Nawawi rahimahullah menasehati dan berkata, “Keberkahan makan sahur amat jelas yaitu semakin menguatkan dan menambah semangat orang yang berpuasa.” (Syarh Shahih Muslim, 7: 206).

Waktu sahur ialah waktu utama untuk beristighfar. Sebagaimana orang yang beristighfar saat itu dipuji oleh Allah dalam beberapa ayat:

وَالْمُسْتَغْفِرِينَ بِالْأَسْحَارِ
“Dan orang-orang yang meminta ampun di waktu sahur.” (QS. Ali Imran: 17).

وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ
“Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar. ” (QS. Adz Dzariyat: 18).

Orang yang makan sahur dijamin dapat menjawab adzan shalat Shubuh dan juga bisa mendapati shalat Shubuh di waktunya secara berjama’ah. Inilah salah satu kebaikan yang nyata. Makan sahur sendiri bernilai ibadah jika niatnya hanya karena beribadah kepada Allah SWT,  Kesimpulannya makan sahur mempunyai berbagai keberkahan. Itulah rahasia-rahasia yang mungkin sebagian kita tidak mengetahuinya dan menyepelekan makan sahur.

4. Menjaga lisan

Selama puasa Ramadhan, umat Islam harus menjaga lisan agar tidak berkata-kata yang tidak baik, seperti berbicara bohong, berkata-kata kasar, atau mengeluarkan kata-kata yang tidak bermanfaat. Jika umat Islam tidak dapat menjaga lisan mereka, maka puasa mereka tidak akan diterima.

Dalam hadits Abu Huroiroh radhiyallahu ‘anhu riwayat Al-Bukhari, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Siapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan beramal dengannya maka Allah tidak ada hajat/keperluan padanya apabila ia meninggalkan makan dan minumnya (yaitu pada puasanya).”

Hadits lain dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan bahwa :

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشَّرَابِ, إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَفَثِ

“Bukanlah puasa itu sekedar (menahan) dari makan dan minumannya, namun puasa itu hanyalah (menahan) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna”.

5. Menghindari perilaku yang dapat membatalkan puasa

Umat Islam harus menghindari perilaku yang dapat membatalkan puasa, seperti makan, minum, merokok, berhubungan seksual, dan lain sebagainya. Jika melakukan hal-hal tersebut, maka puasa mereka tidak akan sah.

6. Menjaga hati

Selama bulan Ramadhan, umat Islam harus menjaga hati mereka agar tidak terkotori oleh rasa iri, dengki, atau hasad. Umat Islam harus berusaha untuk memperbanyak ibadah dan amal kebaikan agar hati mereka tetap bersih dan tenang.

Perkara Yang Wajib Ditinggalkan Oleh Orang  Yang Berpuasa Atau Larangan Orang berpuasa Ramadhan

1. Tidak Boleh Makan, Minum, dan Jima’

Orang yang berpuasa tidak boleh makan, minum, dan berhubungan badan yang sesuai dengan firman Allah dalam Alquran Surat Al-Baqarah: 187

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan dan minumlah kalian hingga tampak, bagi kalian, benang putih terhadap benang hitam, yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (Al-Baqarah: 187)

Selain itu dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhâry dan Muslim, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشَرَ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ قَالَ اللهُ تَعَالَى : إِلاَّ الصِّيَامَ فَإِنَّهُ لِيْ وَأَنَا أَجْزِيْ بِهِ, يَدَعُ شَهْوَتَهُ وَطَعَامَهُ مِنْ أَجْلِيْ

“Setiap amalan Anak Adam, kebaikannya dilipat­gandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’âla berfirman, ‘Kecuali puasa. Sesung­guhnya (amalan) itu adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya karena (orang yang ber­puasa) meninggalkan syahwat dan makanannya karena Aku.’.” (Lafazh hadits adalah milik Imam Muslim)

2. Meninggalkan Riba, Dusta, dan Adu Domba

Orang yang berpuasa harus meninggalkan perkataan dusta, memakan harta riba, serta perkataan adu domba.

Apa itu Riba ? Penjelasan tentang Riba

Riba dalam Islam adalah suatu bentuk transaksi keuangan yang melibatkan penambahan atau pengambilan keuntungan yang tidak wajar atau tidak adil dari pihak yang lebih lemah atau miskin. Istilah riba dalam bahasa Arab berasal dari kata "raba" yang berarti "bertambah" atau "meningkat". Riba juga dapat diartikan sebagai bunga atau bunga bank yang dibebankan pada suatu pinjaman atau hutang.

Riba dilarang dalam Islam karena dianggap sebagai bentuk eksploitasi dan penindasan terhadap orang yang lebih lemah atau miskin. Transaksi yang mengandung unsur riba dianggap sebagai tindakan tidak adil dan tidak bermanfaat bagi masyarakat.

Dalam Al-Qur'an, riba dilarang dalam beberapa ayat, antara lain dalam Surat Al-Baqarah ayat 275-281. Dalam hadis-hadis Nabi Muhammad SAW juga ditegaskan bahwa riba adalah suatu dosa besar dan dapat merusak hubungan antara manusia dan Allah SWT.

Oleh karena itu, umat Islam dianjurkan untuk menghindari dan menjauhi segala bentuk transaksi keuangan yang mengandung unsur riba, seperti riba bank, riba dalam transaksi jual beli, atau riba dalam transaksi pinjaman dan hutang. Sebagai gantinya, umat Islam dianjurkan untuk melakukan transaksi keuangan yang adil dan menguntungkan bagi semua pihak yang terlibat, sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan pada keadilan dan keseimbangan dalam segala aspek kehidupan.

Apa itu Dusta ? penjelasan tentang Dusta

Dusta adalah kebohongan atau ucapan yang tidak sesuai dengan kenyataan atau fakta yang sebenarnya. Istilah dusta sering digunakan dalam bahasa Indonesia dan juga dikenal dalam bahasa lain seperti Inggris dengan kata "lie".

Dalam agama Islam, dusta termasuk salah satu dari delapan dosa besar (al-Kaba'ir), karena dapat menimbulkan banyak kerugian dan bahaya bagi diri sendiri dan orang lain. Dalam Al-Qur'an, Allah SWT menjelaskan bahwa dusta adalah perbuatan yang sangat dibenci-Nya dan dapat mengganggu keharmonisan hubungan antara manusia.

Oleh karena itu, dalam Islam ditekankan untuk selalu jujur dan berkata benar dalam setiap perkataan dan tindakan. Nabi Muhammad SAW juga mengajarkan pentingnya kejujuran dalam setiap aspek kehidupan, termasuk dalam bisnis, hubungan sosial, dan keluarga. Kejujuran dianggap sebagai nilai yang sangat mulia dan dihargai tinggi dalam ajaran Islam, karena dapat memperkuat hubungan antara manusia dan Allah SWT serta meningkatkan kualitas hidup manusia di dunia dan akhirat.

Apa itu Adu Domba ? Penjelasan tentang adu domba

Adu domba adalah sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan situasi di mana dua atau lebih pihak bertindak atau bersaing dengan cara yang tidak jujur atau manipulatif untuk mencapai tujuan mereka. 

Istilah ini juga dapat merujuk pada strategi yang digunakan dalam debat atau argumen di mana salah satu pihak berusaha untuk memenangkan argumen dengan cara mengkritik atau menyerang pihak lain secara pribadi, daripada berfokus pada substansi masalah yang sedang dibahas. Adu domba seringkali dianggap sebagai taktik yang tidak etis atau tidak adil dalam berbagai situasi dan dapat menyebabkan kerusakan pada hubungan interpersonal atau bisnis.

3. Meninggalkan Perkara yang Sia-sia

Orang yang berpuasa juga wajib hukumnya  meninggalkan segala perkara yang sia-sia.

Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Al-Bukhary, secara khusus berkaitan dengan puasa:

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ للهِ حَاجَةٌ فِيْ أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan (tetap) mengamalkan hal tersebut, Allah tidak perlu terhadap (amalan) dia (yang) meninggalkan makan dan minumnya (yaitu terhadap puasanya, -pent.).”

Selanjutnya diriwayatkan dari Hadis Al-Bukhâry dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu, Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda :

وَالصِّيَامُ جُنَّةٌ فَإِذَا كَانَ يَوْمُ صَوْمِ أَحَدِكُمْ فَلاَ يَرْفُثْ يَوْمَئِذٍ وَلاَ يَسْخَبْ فَإِنْ سَابَّهُ أَحَدٌ أَوْ قَاتَلَهُ فَلْيَقُلْ إِنِّيْ امْرُؤٌ صَائِمٌ

“…dan puasa adalah tameng. Bila ada hari puasa di antara salah seorang di antara kalian, janganlah ia berbuat sia-sia dan janganlah ia banyak mendebat. Kalau orang lain mencaci-maki atau memusuhinya, hendaknya ia berkata, ‘Saya sedang berpuasa.’.”

Lalu, dalam hadits Abu Hurairah radhiyallâhu ‘anhu riwayat Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang hasan, Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam menegaskan,

لَيْسَ الصِّيَامُ مِنَ الْأَكْلِ وَالشَّرَابِ، إِنَّمَا الصِّيَامُ مِنَ اللَّغْوِ وَالرَفَثِ

“Puasa itu bukanlah sekedar (menahan diri) dari makan dan minum, melainkan bahwa puasa itu hanyalah (me­nahan diri) dari perbuatan sia-sia dan tidak berguna.”

4. Tidak Boleh Menyambung Puasa Dua Hari Ber­turut-turut atau Lebih

Seseorang juga dilarang dan haram hukumnya untuk berpuasa Wishal.

Puasa Wishal adalah puasa dengan cara menyambung dua hari berturut-turut atau lebih tanpa berbuka. Puasa Wishal haram hukumnya kecuali bagi Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam, menurut pendapat yang lebih kuat dari kalangan para Ulama.

Hal tersebut sesuai dengan hadits Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Aisyah, dan Anas bin Malik radhiyallâhu ‘anhum riwayat Al-Bukhâry dan Muslim. Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam Bersabda;

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْوِصَالِ قَالُوْا: إِنَّكَ تُوَاصِلُ قَالَ : إِنِّيْ لَسْتُ مِثْلَكُمْ إِنِّيْ أُطْعَمُ وَأُسْقَى

“Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam melarang (seseorang untuk) berpuasa wishal, maka para sahabat berkata, ‘Sesungguhnya, (bukankah) engkau (berpuasa) Wishal?’ Beliau menjawab, ‘Sesungguhnya saya tidak seperti kalian. Saya diberi (kekuatan) makan dan minum.’.”

Perkara-Perkara Yang Jika Terdapat Pada Orang Yang Berpuasa Boleh Baginya Untuk Berpuasa

Hukumnya Orang yang bangun kesiangan dalam keadaan junub.

Diperbolehkan baginya untuk berpuasa berdasa rkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah
radhiyallahu ‘anhuma riwa yat Al-Bukhary dan Muslim :
“Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam kadang-kadang dijumpai oleh waktu subuh sedang beliau dalam keadaan junub dari istrinya, kemudian beliau mandi dan berpuasa.”
Tidak ada perbedaan apakah dia junub sebab mimpi atau sebab berhubungan. Demikian pula wanita yang haid atau nifas yang telah suci sebelum terbit fajar akan tetapi dia belum sempat mandi takut kesiangan dia juga boleh berpuasa menurut pendapat yang paling kuat dikalangan para ‘ulama berdasa rkan hadits di atas.

Hukum Bersiwak/Sikat gigi ketika berpuasa

Juga diperbolehkan untuk bersiwak bahkan hal tersebut merupakan sunnah, apakah menggunakan kayu siwak atau dengan sikat gigi.

Dan juga dibolehkan menyikat gigi dengan pasta gigi, tetapi dengan menjaga jangan sampai menelan sesuatu ke dalam ke ro ngkongannya dan juga jangan mempergunakan pasta gigi yang mempunyai pengaruh kuat ke dalam perut dan tidak bisa diatasi.

Dua point di atas berdasarkan keumuman hadits-hadits yang menunjukkan akan disunnahkannya bersiwak seperti hadits Abu Hurairahradhiyallahu ‘anhu riwa yat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak setiap hendak sholat.”

Dan dalam riwa yat lain Malik, Ahmad, An-Nasa`i dan lain-lainnya dari Abu Hura ira h
radhiyallahu ‘anhu dengan lafadz :
“Andaikata tidak akan memberatkan ummatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk bersiwak bersama setiap wudhu`.”

Dua hadits ini menunjukkan sunnah bersiwak secara mutlak tanpa membedakan apakah dalam keadaan berpuasa atau tidak.

Hukum berkumur kumur dalam berpuasa

Boleh berkumur-kumur dan menghirup air ketika berwudhu`, dengan ketentuan tidak terlalu dalam dan berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam kerongkongan. Juga tidak ada larangan untuk berkumur-kumur disebabkan teriknya matahari sepanjang tidak menelan air ke kerongkongan. Seluruh hal ini berdasarkan hadits shohih dari Laqith bin Shabira hradhiyallahu ‘anhu riwayat Abu Daud, At-Tirm idzy, An-Nasa `i, Ibnu Majah dan lain-lainnya, Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan :
“Dan bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air kecuali jika engkau dalam keadaan puasa.”
Dan hadits-hadits lainnya yang menunjukkan disunnahkannya berkumur-kumur dan menghirup air dalam wudhu`, juga datang dengan bentuk umum tanpa membedakan dalam keadaan berpuasa atau tidak. 

Hukum madi Ketika Berpuasa

Juga boleh mandi dalam keadaan berpuasa bahkan juga boleh berenang sepanjang ia menjaga tidak tertelannya air ke dalam tenggorokannya.

Hukum bercelak/Berhias alis ketika berpuasa

Dan juga boleh bercelak untuk mata ketika berpuasa.
Point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarangnya.

Hukum bersentuhan dan mencium istri ketika berpuasa

Dan juga boleh memeluk/bersentuhan dan mencium istri bila mampu menguasai dirinya.
Menurut pendapat yang paling kuat di kalangan para ‘ulama.
 
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwayat Al-Bukhary dan Muslim , Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihiwa sallam bersabda :
“Adalah Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wasallam mencium dalam keadaan berpuasa dan memeluk dalam keadaan berpuasa dan beliau adalah orang yang paling mampu menguasai syahwatnya.”

Hukum menelan ludah dan dahak ketika berpuasa 

Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya. Adapun dahak tidaklah membatalkan puasa kalau ditelan, tetapi menelan dahak tidak boleh karena ia adalah kotoran yang membahayakan tubuh.

Boleh mencium bau-bauan apakah itu bau makanan, bau parfum dan lain-lain.
Dua point di atas boleh karena tidak adanya dalil yang melarang.

Hukum mencicipi masakan ketika berpuasa

Boleh mencicipi masakan dengan ketentuan menjaganya jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan dan kembali mengelua rkannya . Hal ini berdasarkan p rkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’ dengan sanad yang hasan dari seluruh jalan-ja lannya :
“Tidak apa-apa bagi orang yang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu yang ia ingin beli sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokannya.”

Hukum Bersuntik ketika berpuasa 

Boleh bersuntik dengan apa saja yang tidak mengandung makna makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, infus, suntik obat agar sembuh dari penyakit dan lain-lainnya.
Hal ini boleh karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa hal tersebut membatalkan puasa.

Hal Hal Yang membatalkan Puasa

Hukum makn dan minum saat berpuasa

Makan dan minum dengan sengaja merupakan pembatal puasa, adapun kalau seseorang melakukannya dengan tidak sengaja atau lupa, tidaklah membatalkan puasanya.
Hal ini adalah perkara diketahui secara darurat dan dimaklumi oleh seluruh kaum muslimin berdasarkan dalil yang sangat banyak. Di antaranya adalah ayat dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan hadits Abu Hur irah radhiyallahu ‘anhu riwa yat Al-Bukhary dan Muslim , Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menegaskan :
“Setiap amalan Anak Adam kebaikannya dilipatgandakan menjadi sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Ta’ala berfirman : “Kecuali puasa, sesungguhnya ia adalah (khusus) bagi-Ku dan Aku yang akan memberikan pahalanya, ia (orang yang berpuasa) meninggalkan syahwatnya dan makanannya karena Aku.” (Lafazh hadits bagi Imam Muslim)
Dan juga hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ri wa yat Al-Bukhary dan Muslim, Rasulullah
shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa saja yang lupa dan ia dalam keadaan berpuasa lalu ia makan dan minum, maka hendaknyalah ia sempurnakan puasanya karena sesungguhnya ia hanyalah diberi makan dan minum oleh Allah.”
Pemahaman dari hadits ini bahwa siapa yang makan dan minum dengan sengaja maka batallah puasanya.

Hukum Suntikan–suntikan vitamin dalam berpuasa

Suntikan–suntikan penambah kekuatan berupa vitamin dan yang sejenisnya yang masuk dalam makna makan dan minum .

Hukum Menelan darah dalam berpuasa

Menelan darah mimisan dan darah yang keluar dari bibir juga merupakan pembatal puasa.
Dua point di atas berdasarkan keumuman nash-nash yang tersebut di atas.

Hukum Muntah dalam Berpuasa

Muntah dengan sengaja juga membatalkan puasa, adapun kalau muntah dengan tidak sengaja tidak membatalkan.
Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasai menahan muntahnya (muntah denga tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwa yatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)

Hukum Haid dan nifas saat berpuasa

Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwa yat Al-Bukhary dan Muslim , beliau menyatakan :
“Adalah hal tersebut (haid,) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho` puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”

Hukum Berbuka Puasa.

Waktu berbuka puasa adalah ketika siang beranjak pergi dan matahari telah terbenam dan malampun menyelubunginya. Hal ini berdasarkan firman Allah Jalla Jalaluhu : dalam
“Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.” (QS. Al-Baqaroh ayat 187)
Dan diantara sekian banyak hadits yang menjelaskan tentang hal ini, adalah hadits Umar bin Khaththab riwayat Al-Bukhari dan Muslim, Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
“Apabila malam telah datang dan siang beranjak pergi serta matahari telah terbenam maka orang yang berpuasa telah waktunya berbuka.”
Disunnahkan mempercepat berbuka puasa ketika telah yakin bahwa wak tunya telah masuk, karena manusia akan tetap berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam dalam hadits Sahl bin Sa’d As-Sa’idy Radhiyallahu 'anhu riwa yat Al-Bukhari dan Muslim :
“Terus-menerus manusia berada di dalam kebaikan selama mereka mempercepat berbuka puasa.”
Bahkan Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam menganggap mempercepat berbuka puasa sebagai salah satu sebab tetap nampaknya agama ini, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu riwa yat Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang hasan, beliau menegaskan :
 “Terus-menerus agama ini akan nampak sepanjang manusia masih mempercepat buka puasa karena orang-orang Yahudi dan Nashoro mengakhirkannya.”
Dan Nabi Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berbuka puasa sebelum sholat Maghrib dengan memakan ruthob (kurma kuning yang mengkal dan hampir matang) dan apabila beliau tidak menemukan ruthob maka beliau b rbuka dengan ko rma (matang) jika tidak menemukan korma maka beliau berbuka dengan beberapa teguk air.
Hal ini berdasarkan hadits Anas bin Malik riwa yat Abu Da wud dengan sanad hasan Rasulullah
Shollallahu 'alaihi wa sallam beliau be rka ta :
“Adalah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam berbuka dengan beberapa biji ruthob sebelum sholat, apabila tidak ada ruthob maka dengan beberapa korma,dan kalau tidak ada korma maka dengan beberapa teguk air.
Dan disunahkan memperbanyak do’a ketika berbuka, karena waktu itu merupakan salah satu tempat mustajabnya (diterimanya) do’a sebagaimana dalam hadits yang shohih dari seluruh jalan-jalannya.

Hukum memberikan makan orang berpuasa

Merupakan suatu amalan yang sangat mulia dan mendapatkan pahala yang besar apabila seseorang memberikan makanan buka puasa pada sauda ra nya yang berpuasa.
Hal ini berdasarkan hadits Zaid bin Khalid Al-Juhany Radhiyallahu 'Anhu riwa yat Ahmad, At- Tirm idzy, Ibnu Majah dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang memberikan makanan buka puasa pada orang yang berpuasa maka baginya pahala seperti pahala orang yang berpuasa tersebut tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa sedikitpun.”

Orang–Orang Yang Mendapatkan Keringanan Untuk Tidak Berpuasa

Musafir

Secara umum Allah Ta’ala memberikan keringanan kepada musafir yang sedang dalam perjalanan untuk tidak berpuasa.
Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala dalam surah Al-Baqaroh ayat 184 :
“Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Dan suatu hal yang kita ketahui b rsama bahwa perjalanan safar kadang merupakan perjalanan meletihkan dan kadang perja lanan yang tidak meletihkan. Adapun perjalanan yang meletihkan, yang paling utama bagi sang musafir adalah berbuka berdasarkan hadits Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhuma riwa yat Al-Bukhari dan Muslim , Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
´“Adalah Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam perjalanannya dan beliau melihat seorang lelaki telah dikelilingi oleh manusia dan sungguh ia telah diteduhi, maka beliau bertanya :”Ada apa dengannya?” maka para sahabat menjawab :”Ia adalah orang yang berpuasa,” maka Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda : “Bukanlah dari kebaikan berpuasa dalam safar”
Kendati demikian, hadits ini tidaklah menunjukkan haramnya berpuasa dalam perjalanan yang meletihkan karena ada pembolehan dalam syari'at bagi orang yang mampu untuk brpuasa walaupun dalam perjalanan yang meletihkan.

Hal ini berdasarkan hadits riwayat Malik , Asy-Syafi'I, Ahmad, Abu Daud dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih dari sebagian sahabat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam, beliau be rkata :
“Saya melihat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam memerintahkan manusia untuk berbuka dalam suatu perjalanan safar beliau pada tahun penaklukan Makkah dan beliau berkata :“Persiapkanlah kekuatan kalian untuk menghadapi musuh kalian”, dan Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam sendiri berpuasa. Berkata Abu Bakar (bin 'Abdurrahman rawi dari sahabat) sahabat yang bercerita kepadaku bertutur : ”Sesungguhnya saya melihat Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di ‘Araj menuangkan air diatas kepalanya dan beliau dalam keadaan berpuasa karena kehausan atau karena kepanasan.”
Dan juga dalam hadits Abu Darda ’ riwayat Al-Bukhary dan Muslim beliau berkata :
“Kami keluar bersama Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di bulan Ramadhan dalam cuaca yang sangat panas sampai-sampai salah seorang diantara kami meletakkan tangannya diatas kepalanya karena panas yang sangat dan tak ada seorangpun yang berpuasa diantara kami kecuali Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dan Abdullah bin Rawahah.”
 Adapun dalam perjalanan yang tidak meletihkan maka berpuasa lebih utama baginya dari berbuka menurut pendapat yang paling kuat diantara para ulama. Kesimpulan ini bisa dipahami dari puasa Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam dalam perjalanan yang meletihkan pada hadits-hadits di atas. Juga dimaklumi bahwa menjalankan kewajiban secepat mungkin adalah lebih bagus untuk mengangkat kewajibannya, karena itulah dalam posisi perjalanan yang tidak meletihkan lebih afdhol baginya untuk berpuasa.

Hukum Orang yang sakit saat berpuasa

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta'ala dalam sura t Al-Baqaroh ayat 184 :
 “Maka barang siapa di antara kalian yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka) maka (wajib baginya untuk berpuasa) sebanyak hari yang dia tinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Wanita haid atau nifas
Berdasarkan hadits Abu Sa’id Al-Khudry riwayat Al-Bukhary dan Muslim Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam bersabda :
“Bukankah wanita apabila haid ia tidak sholat dan tidak puasa.”
Dan wanita yang nifas didalam pandangan syari’at islam hukumnya sama dengan wanita haid, hal ini berdasarkan hadits Ummi Salamah Radhiyallahu 'Anha riwayat Imam Al-Bukhary :
“Tatkala saya berbaring bersama Nabi Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam di dalam sebuah baju maka tiba-tiba saya haid maka sayapun pergi lalu saya mengambil pakaian haidku maka beliau bersabda: "apakah kamu nifas," maka saya menjawab : "Ya." Lalu beliau memanggilku lalu sayapun berbaring bersamanya diatas permadani.”
Pertanyaan beliau : "Apakah kamu nifas" padahal Ummu Salamah ketika itu menja lani haid bukan nifas sebab tidak pernah melahirkan anak dari Rasulullah Shollallahu 'alaihi wa 'ala alihi wa sallam menunjukkan bahwa haid dianggap nifas dari sisi hukum dan demikian pula sebaliknya.

Hukum Laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu berpuasa

Wanita hamil dan menyusui khawatir akan memberikan dampak negatif kepada kandungannya, anak yang dalam susuannya atau dirinya sendiri apabila ia berpuasa.
Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu 'Abbas riwayat Ibnu Jarud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menjelaskan firman Allah Ta’ala dalam surat Al- Baqarah 184.Be rkata Ibnu 'Abbas :
“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua untuk hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent) sementara/walaupun keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho’ atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa} dan kemudian hukumnya ditetapkan bagi laki- laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan membahayakan kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent), boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap hari.” (Lafadz hadits oleh Ibnul Jarud)

Meng-qodho` (mengganti) Puasa.

Diwajibkan meng-qodho` puasa atas beb rapa orang : 
  • Musafir.
  • Orang Sakit yang Diharapkan Bisa Sembuh.
Yaitu sakit yang menurut pa ra ahli kesehatan atau menurut kebiasaan merupakan penyakit yang bisa disembuhkan.
Dua point di atas berdasa rkan firman Allah Ta’ala :
“Maka barang siapa di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”

Wanita yang Menangguhkan Puasa Karena Haid dan Nifas

Hal ini be rdasa rkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha riwa yat Al-Bukhary dan Muslim , beliau menyatakan :
“Adalah hal tersebut (haid,-pent.) menimpa kami dan kami diperintah untuk meng-qodho` puasa dan tidak diperintah untuk meng-qodho` sholat.”
Adapun wanita yang nifas dalam pandangan syari’at Islam hukumnya sama dengan wa nita haidh sebagaimana yang telah dije laskan.

Muntah dengan Sengaja

Hal ini berdasarkan perkataan Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfu’, beliau berkata :
“Siapa yang sengaja muntah dan ia dalam keadaan berpuasa maka wajib atasnya untuk membayar qodho` dan siapa yang tidak kuasa menahan muntahnya (muntah dengan tidak sengaja,-pent.) maka tidak ada qodho` atasnya.” (Diriwa yatkan oleh Imam Malik dengan sanad yang shohih)

Makan dan Minum Dengan Sengaja .

Orang yang tidak berpuasa karena ketinggalan berita bahwa Ramadhan telah masuk pada hari yang ia tinggalkan.
Hal ini berdasarkan dalil akan wajibnya berpuasa bulan Ramadhan satu bulan penuh maka jika ia luput sebagian dari bulan Ramadhan maka ia tidak dianggap be rpuasa satu bulan penuh.
Tidak ada qodho` atas selain orang-o rang tersebut diatas.

Hukum Mengqodho saat berpuasa

Waktu Untuk meng-qodho` puasa
Waktu untuk meng-qodho` bisa dilakukan setelah Ramadhan sampai akhir bulan Sya’ban sebagaimana yang dipahami dalam riwayat Al-Bukhary dan Muslim dari hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata :
“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qadho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Dan ada keluasan didalam mengqodho’nya apakah dengan cara berturut-turut atau secara terpisah.

 Demikian pendapat yang dahulu kami anggap kuat . Kemudian belakangan ini kami memandang bahwa pendapat yang kuat adalah tidak bisa di-qodho`. Uraiannya insya Allah akan kami tulis dalam rangkaian buku khusus berkaitan dengan tuntunan lengkap dan mendetail seputar puasa. Wallahul Muwaffiq.
 “Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain.”
Firman-Nya “pada hari-hari yang lain” adalah umum, apakah dilakukan secara berturut-turut atau seca ra terpisah.
Dan tentunya tidaklah diragukan bahwa mempercepa t dalam meng-qodho` puasa adalah perkara sangat yang afdhol (lebih utama).
Hal ini berdasarkan keumuman perintah Allah untuk bersegera dalam kebaikan yang ditunjukkan oleh berbagai dalil dari Al-Qur`an dan As-Sunnah, seperti firma n Allah Ta’ala :
“Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang yang lebih dahulu memperolehnya.” (QS. Al-Mukminun : 61)
Barangsiapa yang tidak meng-qodho` puasanya hingga masuknya bulan Ramadhan berikutnya, padahal sebelumnya ada kemampuan dan kesempatan baginya untuk meng- qodho` puasanya, maka ia dianggap orang yang berdosa. Hal ini disimpulkan dari pe rnya taan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau be rka ta :
“Kadang ada (tunggakan) puasa Ramadhan atasku, maka saya tidak dapat meng-qodho`nya kecuali pada (bulan) Sya’ban lantaran sibuk (melayani) Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.”
Hal ini menunjukkan tidak bolehnya mengakhirkan qadho` puasa Ramadhan setelah Sya’ban, sebab andaikata hal tersebut boleh, nisca ya ‘Aisyah akan mengakhirkan qadho`nya setelah Ramadhan karena mungkin saja dibulan Sya’ban beliau juga sibuk melayani Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam. Berangkat dari sini Imam empat dan jumhur ulama salaf dan khalaf bahkan ada dinukil kesepakatan dikalangan ulama akan tidak bolehnya mengakhirkan qodho` setelah Ramadhan.

Adapun jika seseorang tidak mampu sama sekali untuk meng-qodho` puasanya karena udzur yang terus menerus menahannya seperti orang yang musafir terus menerus, perempuan yang masa kehamilannya rapat/dekat dan lain-lainnya, maka tidak ada dosa baginya dan hendaklah mengganti puasanya kapan ia mampu.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al- Baqarah : 286)
Bagi orang yang meninggal dan belum meng-qodho` tunggakan puasanya pada bulan Ramadhan padahal sebelumnya ada kemampuan baginya untuk meng-qodho` puasanya, maka wajib atas ahli wa risnya untuk membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha ri wa yat Al-Bukhary dan Muslim , Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam bersabda :
“Siapa yang meninggal dan atasnya ada tunggakan puasa, maka ahli warisnya berpuasa untuknya.”
Adapun kalau meninggal sebelum ada kemampuan yang memungkinan baginya untuk meng- qodho` puasanya maka tidak ada dosa atasnya insya Allah dan juga tidak ada kewajiban atas ahli warisnya untuk membayar tunggakannya.
Hal ini berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (QS. Al- Baqarah : 286)

Hukum Membayar Fidyah.

Membayar fidyah diwajibkan atas beberapa orang:
  1. Laki-laki dan pe rempua n tua yang tidak mampu berpuasa.
  2. Perempuan hamil dan perempuan menyusui yang khawatir akan membahayakan kandungannya, anak yang disusuinya, atau dirinya sendiri jika ia berpuasa.
Dua point diatas berdasarkan hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma riwayat Abu Daud, Ibnu Ja rud dalam Al-Muntaqo dan lain-lainnya dengan sanad yang shohih menje laskan firma n Allah Ta’ala dalam sura t Al-Baqa ra h 184 :
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) untuk membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berrkata Ibnu Abbas :
“Diberikan keringanan bagi laki-laki dan wanita tua dalam hal itu (yaitu untuk tidak berpuasa,-pent.) sementara keduanya mampu untuk berpuasa, (diberikan keringanan) untuk berbuka apabila mereka berdua ingin atau memberi makan satu orang miskin setiap hari dan tidak ada qodho` atas mereka berdua, kemudian hal tersebut dinaskh (dihapus hukumnya) dalam ayat ini {Barangsiapa diantara kalian menyaksikan bulan (Ramadhan) maka hendaknya ia berpuasa}, dan (kemudian) ditetapkan hukumnya bagi laki-laki dan wanita tua yang tidak mampu untuk berpuasa dan juga bagi wanita hamil dan menyusui apabila keduanya khawatir (akan memberikan bahaya kepada kandungannya, anak yang ia susui, atau dirinya sendiri,-pent.) boleh untuk berbuka dan keduanya membayar fidyah setiap hari.” (Lafazh hadits oleh Ibnul Jarud)

O rang sakit terus menerus yang tidak diharapkan kesembuhannya.

Hal diatas berdasarkan riwayat lain dari Ibnu ‘Abbas oleh Imam An-Na sa`i dengan sanad yang shahih dalam menafsirkan firm n Allah Ta’ala dalam surat Al-Baqarah 184 :
“Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.”
Berkata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
“Tidak diberikan keringanan untuk ini (tidak berpuasa akan tetapi membayar fidyah) kecuali pada orang tua yang tidak mampu untuk berpuasa atau pada orang sakit yang tidak bisa sembuh.”

Ca ra membayar fidyah 

  • Cara membayar fidyah adalah dengan memberikan makan orang miskin sejum lah hari yang telah ditinggalkan, contoh : apabila ia tidak berpuasa 15 hari maka ia memberi makan 15 orang miskin.
  • Dan membayar fidyah boleh sekaligus dan boleh sebahagian secara terpisah.
  • Membayar fidyah berdasarkan konteks ayat adalah dengan makanan. Maka dengan ini kami tegaskan bahwa fidyah tidak boleh diuangkan.
  • Teks ayat sifatnya umum tidak merinci ketentuan tentang jenis makanan. Jadi kapan suatu makanan dianggap sebagai makanan menurut kebiasaan manusia di suatu tempat maka hal tersebut telah dianggap syah/cukup untuk membayar fidyah.
  • Dan banyaknya makanan juga tidak dirinci dalam teks ayat sehingga ini juga kembali kepada kebiasaan orang banyak di suatu tempat atau negeri.
  • Namun tidak diragukan akan terpujinya membayar fidyah dengan makanan yang paling baik dan berharga, berdasarkan firman Allah Jalla wa ‘Azza :

 “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memicingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”

Membayar Kaffarah.

  1. Kaffarah adalah denda yang dikenakan atas seseorang dengan tiga syarat pelanggaran: 
  2. Melakukan hubungan suami istri. Melakukannya di siang hari Ramadhan. Adapun jika ia melakukannya di malam hari atau di luar bulan Ramadhan, seperti pada saat ia membayar tunggakan puasa Ramadhannya, maka tidaklah dikenakan atasnya kaffarah.
  3. Dalam keadaan berpuasa .
Adapun jika ia melakukan di bulan Ramadhan dan ia dalam keadaan tidak berpuasa seperti seorang yang kembali dari perjalanan dalam keadaan tidak berpuasa lalu mendapati istrinya usai mandi suci dari haidh kemudian keduanya melakukan hubungan maka keadaan seperti ini tidak dikenakan kaffarah.

Dan menurut pendapat yang paling kuat dikalangan para ulama bahwa dikenakan kaffarah atas sang istri jika ia mengaja atau taat pada suaminya dengan kemauannya sendiri untuk melakukan hubungan intim.

Seseorang membayar kaffarah adalah dengan memilih salah satu dari tiga je nis kaffarah
berikut ini seca ra be rurut sesuai kemampuannya :
  1. Membebaskan budak. Tidak ada perbedaaan antara budak kafir dengan budak muslim menurut pendapat yang paling kuat.
  2. Be rpuasa dua bulan berturut-turut tanpa terputus. Dan jumhur ulama mensyaratkan agar dua bulan ini jangan terputus dengan bulan Ramadhan dan hari-hari yang terlarang berpuasa padanya yaitu hari ‘Idul Fitri, ‘Idul Adha dan hari-hari tasyriq. Dan apabila ia berpuasa kurang dari dua bulan maka belumlah dianggap membayar kaffarah.
  3. Memberi makan 60 orang miskin dengan sesuatu yang dianggap makanan dalam kebiasaan kebanyakan manusia. Kadar makanan untuk setiap orang miskin sebanyak satu mud yaitu sebanyak dua telapak tangan orang biasa.
Tidak syah membayar kaffarah dengan selain dari tiga jenis di atas.

Apabila tidak ada kemampuan untuk membayar dari salah satu dari tiga jenis di atas maka kewajiban membayar kaffarah tersebut tetap berada di atas pundaknya sampai ia mempunyai kemampuan untuk membaya rnya .

Seluruh keterangan di atas dipetik dari makna yang tersurat maupun tersirat dari kandungan hadits Abu Hura irah riwa yat Al-Bukhary dan Muslim :
“Seorang lelaki datang kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam lalu berkata : “Saya telah binasa wahai Rasulullah, beliau berkata : “Apakah yang membuatmu binasa,? ia berkata : “Saya telah menggauli (hubungan intim dengan) istriku dalam (bulan) Ramadhan {padahal saya sedang berpuasa}2.” Maka beliau bersabda : “Apakah engkau mampu membebaskan budak ?” , ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu berpuasa dua bulan berturut-turut ?”, ia berkata : “Tidak.”, beliau bertanya : “Apakah kamu mampu untuk memberi makan enam puluh orang miskin ?” ia berkata : “Tidak.” Lalu iapun duduk. Kemudian dibawakan kepada Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam satu ‘araq (tempat yang sekurang-kurangnya dapat memuat 60 mud,-pent.) berisi korma, maka beliau berkata kepadanya : “Bershadaqahlah engkau dengan ini.”, ia berkata : “(Apakah) diberikan kepada orang lebih fakir dari kami?, tidak ada antara dua bukit Madinah keluarga yang lebih fakir dari kami.” Maka tertawalah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam hingga nampak gigi taring beliau kemudian beliau berkata : “Pergilah dan beri makan keluargamu dengannya.” Tambahan dalam riwayat Al-Bukhary.

Beberapa Kesalahan Dalam Pelaksanaan Puasa Ramadhan.

Menentukan masuknya bulan Ramadhan dengan menggunakan ilmu falak atau ilmu hisab.

Hal ini tentunya merupakan kesalahan yang sangat besar dan bertolak belakang dengan Al- Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam.
Allah ‘Azza wa Jalla menegaskan dalam sura t Al-Baqaroh ayat 185 :
“Maka barangsiapa dari kalian yang menyaksikan bulan, hendaknya ia berpuasa.”
Dan juga dari hadits Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma riwa yat Al-Bukhary dan Muslim dan hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma ri wa yat Al-Bukhary dan Muslim, Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam :
“Berpuasalah kalian karena melihatnya dan berbukalah kalian karena melihatnya dan apabila bulan tertutup atas kalian maka sempurnakanlah tiga puluh.”
Dalam ayat dan hadits di atas sangatlah jelas menunjukkan bahwa masuknya Ramadhan terka it dengan melihat atau menyaksikan hilal dan tidak dikaitkan dengan menghitung, menghisab dan yang lainnya.

Mempercepat makan sahur

Hal ini tentunya bertentangan dengan sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang beliau mengakhirkan sahurnya sebagaimana yang telah berlalu penjelasannya.

Menjadikan tanda imsak sebagai batasan waktu sahur

Sering terdengar di bulan Ramadhan tanda-tanda imsak seperti suara sirine, suara rekaman ayam berkokok, suara beduk dan lain-lainnya, yang diperdengarkan sekitar seperemp t jam sebelum adzan. Tentunya hal ini merupakan kesalahan yang sangat besar dan bid’ah sesat lagi bertolak belakang dengan tuntunan Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam yang mulia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyatakan dalam surah Al-Baqaroh ayat 187 :
“Dan makan dan minumlah kalian hingga nampak bagi kalian benang putih dari benang hitam yaitu fajar, kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai malam.”
Dan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam menyatakan dalam hadits Abdullah bin ‘Umarriwayat Al-Bukhary dan Muslim :
“Sesungguhnya Bilal adzan pada malam hari, maka makan dan minumlah sampai kalian mendengar seruan adzan Ibnu Ummi Maktum.”
Ayat dan hadits di atas menunjukkan bahwa batasan dan akhir makan sahur adalah adzan kedua yaitu adzan untuk sholat subuh. Inilah seharusnya yang dipegang oleh kaum muslimin yaitu menjadikan wak tu adzan subuh sebagai batasan terakhir makan sahur dan meninggalkan tanda imsak yang tidak pernah dikenal oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan pa ra sahabatnya.

Melafadzkan niat puasa ketika makan sahur

Dan in juga merupakan perkara yang salah karena waktu niat tidak dikhususkan pada makan sahur saja, bahkan bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar sebagaimana yang telah kami jelaskan. Dan melafadzkan niat juga perkara baru dalam agama ini yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.

Meninggalkan berkumur dan menghirup air ketika berwudhu`

Ini juga merupakan kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin. Mereka menganggap bahwa berkumur-kumur dan menghirup air merupakan pembatal puasa padahal berkumur-kumur dan menghirup air merupakan perkara yang disunnahkan dalam syari’at Islam sebagaimana yang telah dije laskan.

Anggapan tidak bolehnya menelan ludah

Hal ini juga kadang kita dapati pada kaum muslimin sehingga kita kadang mendapati sebahagian kaum muslimin yang banyak meludah pada saat puasa. Tidakkah diragukan bahwa
 
hal ini merupakan sikap berlebihan dan memberatkan diri tanpa dilandasi dengan tuntunan yang benar dalam syari’at Islam.

Mengakhirkan buka puasa

Ini juga kesalahan yang banyak terjadi di kalangan kaum muslimin padahal tuntunan Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam sangatlah jelas akan sunnahnya mempercepat buka puasa sebagaimana yang telah kam i jelaskan.

Menghabiskan waktu di bulan ramadhan untuk perkara yang sia-sia dan tidak bermanfaat.

Perasaan ragu mencicipi makanan, padahal hal tersebut adalah boleh sepanjang menjaga jangan sampai menelan makanan tersebut sebagaimana terdahulu keterangannya.

Menyibukkan diri dengan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga sehingga melalaikannya dari ibadah di bulan Ramadhan khususnya pada sepuluh hari terakhir.

 Membayar fidyah sebelum meninggalkan puasanya. Seperti wanita hamil 6 bulan yang tidak akan berpuasa di bulan Ramadhan, lalu ia membayar fidyah untuk 30 hari sebelum Ramadhan atau di awal Ramadhan. Tentunya ini adalah perkara yang salah karena ke wajiban membayar fidyah dibebankan atasnya apabila ia telah meninggalkan puasa.

Demikian tuntunan ringkas Tata Cara Puasa Ramadhan Yang Baik dan Benar Menurut Ajaran Islam.  mudah-mudahan bisa menjadi bekal untuk kita semua dalam menjalani ibadah puasa Ramadhan yang agung dan mulia. Wallahu Ta’ala A’lam.


Older Posts
Newer Posts
Yasin, ST
Yasin, ST I am Conten Creator, Blogger, IT.. I have a hobby of reading and writing, sometimes singing and composing music

Post a Comment

Ads Single Post 4